Minggu, 10 September 2017

Uwais Al Qarni


“Belum dikatakan berbuat baik kepada Islam, orang yang belum berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya.” Syaikhul Jihad Abdullah Azzam

Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak. Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.

“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan haji,” pinta sang ibu.

Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung. Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan?

Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut.

Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.

Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.

Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.

Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa.

“Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais.

“Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan.

Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”

Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuknya Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais.

Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua, pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)

Uwais Al Qarni pergi ke Madinah

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al Qarni sampai juga di kota Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al Qarni menyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah r.a., istri Nabi. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, tetapi Nabi tidak dapat dijumpainya.

Dalam hati Uwais Al Qarni bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terniang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu,agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas pulang.”

Akhirnya, karena ketaatanya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berangkat pulang mengayunkan lengkahnya dengan perasaan amat sedih dan terharu.

Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais anak yang taat kepada orang ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit itu, kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Sesudah itu Nabi memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”

Waktu terus berganti, dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khaththab. suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu. yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan dia?

Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang salat. Setelah mengakhiri salatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi tersebut dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putihdi telapak tangan Uwais Al Qarni.

Wajah Uwais nampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi. Bahwa ia adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. akhirnya Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta do’a pada kalian”.

Mendengar perkataan Uwais, “Khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat


Beberapa tahun kemudian, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.    

Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.”

Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah penghuni langit.

Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).

Sabtu, 26 Agustus 2017

Ukasyah



ABDULLAH bin Abbas bercerita: “Menjelang wafatnya Nabi saw, diperintahkannya Bilal unruk mengumandangkan azan. Para sahabat datang berduyun-duyun ke Masjid Nabawi memenuhi seruan azan itu, meskipun waktu solat belum tiba.

Nabi masuk ke dalam masjid dan melakukan solat sunat dua rakaat. Kemudian Baginda naik ke atas mimbar dan memulakan khutbahnya yang panjang. Baginda ucapkan puji-pujian kepada Allah Yang Maha Agung sehingga meniis air mata orang yang mengikutinya.

Kemudian, Baginda bersabda: “Ayyuhal Muslimun, aku adalah Nabi utusan Allah, pemberi nasihat dan pembawa kebenaran kepada kalian. Kedudukan aku diantara kalian bagaikan seorang saudara atau seorang ayah yang sangat kasih kepada anak-anaknya. Apabila ada diantara kalian yang merasa pernah dizalimi, ku harap dia mahu menuntutnya dariku di dunia ini sebelum datangnya tuntutan yang amat dasyat pada hari akhirat kelak.”

Berulang kali Nabi mengucapkan kata-katanya itu, tetapi tidak ada suara yang mahu menyahutnya. Siapa gerangan pengikut Nabi Muhammad yang merasa rela  menuntut Nabi saw. Semua sahabat diam termangu. Ada yang terisak-isak menangis menyaksikan ketulusan dan keadilan seorang pemimpin agung ini. Mereka tak dapat membayangkan betapa seorang pemimpin yang agung dan sudah berkorban segala-galanya demi umatnya, tiba-tiba pada akhir hayatnya dan dalam keadaan badan yang sudah lemah masih menegakkan keadilan seadil-adilnya meskipun terhadap dirinya sendiri.

Dalam suasana yang hening dan mencengkam seperti itu, tiba-tiba Akasyah bin Muhshin berdiri dan memecahkan kesunyian, “Aku ya Rasulullah yang akan mengajukan tuntutan padamu.”

Mendengar kata-kata Akasyah seperti itu, para sahabat yang duduk di sekitar Nabi merasa seakan-akan disambar petir yang maha dasyat. Mereka hairan. Kerongkong mereka tersumbat tidak dapat berbicara. Jantung mereka berdebar keras seperti ingin pecah. Suara tangis mereka saling bersahut-sahutan dengan suara tangis dinding-dinding Masjid Nabawi yang ikut menyaksikan peristiwa yang amat mendebarkan itu.

“Biarkan Akaasyah mengajukan tuntutannya padaku, “ kata Nabi menenangkannya hadirin. “Aku lebih bahagia apabila aku boleh menunaikannya di dunia ini sebelum tibanya hari Qiamat kelak. Wahai Akasyah, katakanlah apa yang pernah kulakukan terhadap dirimu sehingga engkau berhak membalas terhadap diriku.”

“Ya Rasulullah, peristiwa ini terjadi pada saat ghazwah Badar.” Kata Akasyah. “Waktu itu untaku berada di samping untamu. Aku turun dari untaku kerana ingin menghapirimu. Tiba-tiba Baginda angkat kayu penyebat unta Baginda dan kayu itu mengenai bahagian belakangku. Aku tidak tahu apakah Baginda lakukan itu dengan sengaja atau kerana ingin menyebat unta itu.”

“Wahai Akasyah, Rasul Allah tidak akan mungkin melakukan perbuatan seperti itu dengan sengaja. Tetapi bagaimanapun engkau mempunyai hak untuk membalasnya.” Jawab Rasulullah saw.

“Wahai Bilal, pergilah ke rumahFathimah puteriku dan ambil kayu itu di sana,” kata Rasulullah saw.

Bilal keluar dari masjid sambil menarik nafasnya panjang-panjang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada puteri kesayangan Nabi saw. Fathimah pasti akan merasa terkejut sekali apabila diketahuinya bahawa ayah kesayangannya dituntut oleh salah seorang sahabatnya. Bukan menuntut harta, melainkan menuntut qisas denganmembalas sebatan nabi pada belakangnya. Itupun di saat-saat akhir hayatnya dan dalam keadaan badan Nabi yang sering sakit.

“Wahai Fathimah puteri Penghulu alam semesta,” kata Bilal setelah mengetuk pintu dan memberi salam kepada Fathimah. “Nabi meminta sebatang kayu yang dahulunya sering digunakannya untuk menyebat untanya.”

“Untuk apa wahai Bilal?” Tanya Fathimah ingin tahu.

“Nabi hendak memberikan kayu itu kepada seseorang yang mahu mengqisasnya (membalasnya),” jawab Bilal

“Wahai Bilal, apakah ada orang yang sanggup memukul Nabi dengan kayu itu?”

Tanpa menjawab, Bilal meninggaklkan rumah Fathimah sambil membawa kayu itu. Sesampainya di masjid, Bilal memberikan kayu itu kepada Rasulullah saw yang kemudiannya diberikan kepada Akasyah. Abu Bakar dan Umar menyaksikan kejadian itu dengan penuh keharuan. Mereka berkata: “Wahai Akasyah, kami mahu menjadi tebusan Nabi saw. Balaslah kami asal jangan engkau balas jasad Nabi saw.”

“Biarkanlah Akasyah wahai Abu Bakar dan Umar. Sungguh Allah Maha Tahu apa akan kedudukan kalian,” kata Nabi meyakinkan dua sahabat ini.

“Wahai Akasyah, jiwa ini tebusan untuk Nabi saw. Hatiku tidak dapat menerima apa yang akan engkau lakukan terhadap Nabi yang mulia ini. Ini belakangku dan tubuhku. Pukulllah aku dengan tanganmu dan sebatlah aku dengan segala kekuatannu,” kata Ali penuh kepiluan.

“Tidak Hai Ali,” kata Nabi. “Sungguh Allah Maha Tahu akan niat dan kedudukanmu.”

Hasan dan Husin, dua cucu Nabi yang sangat disayanginya kemudian berdiri dan berkata dengan suara pilu: “Wahai Akasyah, bukankah engkau tahu bahawa kami adalah cucu Rasulullah saw, darah dagingnya dan cahaya matanya. Mengambil qisas dari kami adalah sama dengan mengambil qisas dari Rasulullah saw.”

“Tidak hai Hasan dan Husin. Kalian adalah cahaya mata hatiku. Biarkanlah Akasyah melakukan apa yang ingin dilakukannya,” kata Nabi.

“Wahai Akasyah, pukullah aku apabila benar bahawa aku pernah memukulmu,” pinta Nabi kepada Akasyah.

Nabi membuka bajunya dan menelungkup bersiap sedia untuk diqisas oleh Akasyah. Para sahabat menangis penuh kesyahduan menyaksikan peristiwa itu. Tiba-tiba Akasyah membuang kayu yang digenggamnya, lalu memeluk dan meletakkan tubuhnya pada tubuh Rasulullah saw. Katanya: “Wahai junjunganku Rasulullah, jiwa ini adalah tebusanmu, hati siapa yang akan tergamak mengambil qisas darimu. Aku lakukan ini semata-mata berharap badan ini dapat bersentuhan dengan badanmu yang mulia. Dengannya kuharap Allah akan boleh memeliharaku dari sentuhan api neraka.”

Nabi kemudian bersabda: ‘Ketahuilah bahawa siapa yang ingin melihat penghuni syurga maka lihatlah Akasyah.”